Daftar Blog Saya

Senin, 09 Januari 2012

CERPEN “MAAF YANG TAK TERSAMPAIKAN”

Nama                           : Nurul Maimunah Siregar
Nim                             : 209411022
Kelas                           : Dik. A-Reguler’09
M. kuliah                     : Kreativitas Sastra

MAAF YANG TAK TERSAMPAIKAN

Dengan penuh rasa berdosa ku coba tuk memakai kerudung yang pernah diberikan ibu lima tahun lalu saat usai ku 14 tahun. Air mata ku kembali berlinang saat mengingat betapa durhakanya aku ini. Lima tahun lalu saat usaiku genap 14 tahun ibu memberikan aku hadiah sebuah kerudung yang ibu jahit sendiri dengan tangannya. Namun, hadiah itu kusambut dengan celaan, saat itu aku merasa ibu memaksaku untuk memakainya. “Percuma ibu memberikannya kepadaku, aku tidak mungkin menutupi rambutku yang bagus ini, ucapku saat itu”. Tanpa bersalah kerudung yang diberikan ibu kujatuhkan kelantai dan ku injak di depan ibu, dan aku melangkah pergi ke luar rumah.
Sejak saat itu aku jarang pulang ke rumah, aku sering tidur di rumah teman-temanku, dan ibu harus tinggal sendiri di rumah gubuk kami. Aku memang anak tunggal dari ayah dan ibuku. Namun, saat usiaku sepuluh tahun ayah meninggalkan kami untuk selamanya. Sejak itu ibuku hanya mengandalkan jari-jarinya untuk membenahi baju-baju tetangga kami yang robek. Namun, aku merasa jengkel karena upah yang ibu terima tidak mampu membelikan kebutuhan dapur yang mewah di rumah kami, untung saja sejak kecil aku rajin belajar sampai akhirnya aku mendapat beasiswa dari pihak sekolah.
Namun saat aku menginjak usia remaja aku merasa tidak sanggup hidup begini, aku merasa malu dan minder dengan teman-temanku. Apalagi saat teman-temanku ingin main kerumahku.
            “Sarah, hari ini kita main ke rumah mu ya, kitakan belum pernah main kerumahmu, ajak ayu temanku”.
            “Aku ada acara keluarga, tolak ku dengan alasan yang aku karang sendiri”. Aku tidak tahu apakah temanku percaya atau tidak dengan alasan itu. Namun, aku harus menolaknya, aku malu jika teman-temanku datang dan melihat keadaan ibu dan rumahku.
Sampai dirumah dengan kasar aku mencampakkan tas sekolahku didepan ibu.

            Kamu kenapa sarah? kata ibu.
            Dengan rasa kesal aku menjawab, bu aku mau kita pindah rumah, aku malu punya rumah gubuk seperti ini.
            Kita dapat uang dari mana nak? Kita ini orang miskin untuk makan aja susah, apalagi harus beli rumah, ucap ibuku.
            Namun aku tetap membantah, kau merasa kesal dan meninggalkan ibu sendiri dirumah.
Dibawah pohon beringin aku duduk sembari merenungi nasibku yang ku rasa sial, kubayangkan bila teman-temanku dan mengikuti dari belakang. Pasti mereka akan tertawa sejadi-jadinya melihat rumahku dan melihat ibuku yang sudah sakit-sakitan dan pastilah teman-temanku tidak akan ingin berteman denganku lagi.
Tak terasa hari telah sore, cacing diperutku berbunyi membuyarkan lamunanku. Ternyata aku belum makan siang, karena kesal dengan ibu aku jadi lupa untuk makan siang, dan akhirnya aku pulang kerumah.
Setelah makan malam, ku coba untuk membuka buku pelajaran ku. Aku hanya mengandalkan penerangan lampu semprong saat belajar. Namun konsentrasi belajarku hilang saat terdengar suara ibu terbatuk-batuk dikamar, dengan kesal aku bangkit dari dudukku dan mendatangi ibu dikamar. “Aku lagi belajar, apa ibu tidak berfikir suara batuk ibu membuat konsentrasi belajarku hilang, apa ibu bosan menunggu aku sampai aku selesai sekolah yang hanya tiga bulan lagi? Kalau ibu bosan pergi saja sana ikut sama ayah, ucapku dengan kesal”. Ibu hanya tabah mendengarkan semua perkataanku.
Setelah tiga bulan mengikuti pelajaran sekolah, akhirnya aku lulus dengan nilai bagus. Dengan mengandalkan ijazah SMK aku nekat untuk melamar pekerjaan. Mungkin sudah rezekiku aku diterima disuatu perusahaan keuangan. Beberapa hari bekerja aku tidak pernah makan dirumah, sampai akhirnya  suatu pagi ibu menyuguhkanku dua potong roti. “Sarah ini ibu belikan roti untuk sarapan, dimakan ya nak, ucap ibuku”. Letakkan disitu saja bu nanti sarah makan, ucapku acuh.
Saat aku hendak berangkat kerja aku melihat ibu menggantungkan kerudung dikamarku yang pernah diberikannya padaku. Aku tidak tahu apa maksud ibu menggantungkan kerudung yang pernah aku injak itu. Namun aku yakin ibu pasti menyuruh untuk mengenakan kerudung itu saat aku bekerja. Dengan emosi aku masuk kekamar dan marah pada ibuku. “Bu, apa maksud ibu menggantungkan kerudung itu dikamarku, akukan sudah pernah katakan kalau aku tidak akan pernah memakai kerudung selamanya. Mendengar perkataanku ibu hanya diam saja, matanya berkaca-kaca saat melihat aku melangkah pergi keluar rumah, ingin rasanya aku meminta maaf namun gengsiku terlalu tinggi dan akhirnya aku berangkat bekerja dengan perasaan bersalah.
Dikantor aku masih membayangkan wajah ibu yang berlinangan air mata. Ingin rasanya aku cepat pulang dan memeluk ibuku sembari meminta maaf atas segala kesalahanku selama ini padanya, sampai akhirnya sorepun tiba aku pulang kerumah, tak lupa sebelum pulang aku ingin membeli buah-buahan untuk ibuku dengan gembira aku pulang kerumah. Niatku untuk meminta maaf pada ibu, bahkan aku ingin membayar semua kesalahanku dengan membahagiakan sampai akhir hayatnya.
Dengan semangat kulangkahkan kakiku menuju rumah, namun saat mendekati halaman rumahku, aku merasa kakiku gemetar, aku seakan takut untuk melangkahkannya, akupun tak percaya dengan apa yang aku lihat saat itu. Sampai akhirnya seorang kepala desa menepuk pundakku. “Sabarya sarah tadi siang api telah melahap rumah kalian dan ibumu meninggal tertimpa kayu karena ingin menyelamatkan kerudung ini, kata kepala desa”. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, ingin rasanya aku berlari kedalam rumah yang tinggal puing-puing kayu yang penuh debu bersama ibuku.
Ya Allah inikah jawaban atas semua yang pernah aku lakukan, sampai kata maaf pun tak kau izinkan untuk kusampaikan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar